RSS

Gadis Khayangan (Tuan dan Pemburu Emas Chapter 11-12)

13 Jun

Jakarta, 1995

Musim kemarau panjang. Matahari merajai bulan demi bulan di tahun ini. Asap knalpot dan bau lumpur berebut masuk ke hidungku yang sedang berjalan di trotoar dekat rumah, kawasan Menteng, Jakarta.

Lima tahun sudah aku di sini, rumah mewah yang tak ada isi. Romi dan Saihan masih bertahan di hutan belantara TNKS seputaran Jangkat. Sesekali mereka berkabar lewat HT tentang perusahaan yang merangsek masuk ke pertambangan kami, sesekali pula Romi singgah ke Jakarta sekedar bertemu dan menambah “amunisi”.

Ya, anak-anak di sana masih bertahan. Meski pihak perusahaan berkali-kali mengintimidasi, mereka tetap tak bergeming. Informasi soal lokasi maupun dokumen tanah, hingga kini masih disimpan rapat-rapat oleh mereka. Bahkan mereka tak memberi tahu kepada pengusaha itu bahwa tanah-tanah tempat lokasi tambang telah kubeli, dan sekarang sertifikatnya ada padaku.

Perusahaan besar itu tak bisa bergerak karena terhalang tanahku dan titik lokasi penambangan yang tak diketahui. Anehnya, kata Romi, sejak aku pergi dari desa itu, lokasi penambangan emas kami tiba-tiba menghilang. Tak seorangpun berhasil menemukan goa-goa emas peninggalan Belanda itu. Termasuk Romi sendiri.

Aku pun merasa aneh mendengar keterangan Romi. Tapi bisa saja terjadi karena sampai detik ini, perusahaan itu masih melakukan eksplorasi, belum eksploitasi. Itu artinya mereka belum menemukan “jantung” emas. Jika sudah menemukan, sudah tentu mereka akan eksploitasi besar-besaran seperti tambang emas di Pongkor.

Informasi di dalam buku hitam tak banyak membantu. Aku merasakan bahwa penulisnya -aku yang dulu- hanya punya waktu sedikit untuk menulis. Sehingga Hasan Basri -namaku di kehidupan terdahulu-tak sempat menjelaskan secara detail peristiwa-peristiwa yang pernah dilaluinya.

Setelah puas berjalan kaki, akhirnya aku menghentikan taksi Blue Bird. Kepada sopir kuminta ke arah Stasiun Gambir. Di sana aku memesan tiket kereta tujuan Bogor untuk menghadiri acara seminar sahabatku. Undangannya masih tersimpan rapi di balik jaket kulitku. Seminar itu dimulai pukul 20.00 WIB di salah satu hotel kawasan Cisarua.

Rahmat menyambutku di hotel. Ia menyarankan aku untuk istirahat di kamar yang sudah tersedia.

“Mat, aku kan bukan pemateri, kenapa dikasih kamar?”

“Komisaris itu lebih dari pemateri, Bos. Kok masih nanya sih. Udah, istirahat dulu di kamar, nanti ada yang jemput untuk makan terus ikut seminar.” Pria berambut keriting berkaca mata tebal ini menjawab santai.

“Iya, maksudku, nanti aku tidak memberi materi kan? Soalnya gak ada persiapan ni, Mat.”

“Aman, pokoknya nanti kamu hadir aja. Nanti dipanggil. Oke, Bos?”

“Oke lah.”

Aku mengikuti seorang perempuan berbaju kemeja putih rok hitam ketat yang kata Rahmat adalah panitia seksi akomodasi seminar ini. Tiba di pintu kamar, perempuan cantik tadi mempersilakan masuk, lalu berjalan cepat ke luar lorong kamar. Bau wanginya tinggal di hidungku, meredakan bau lumpur dan asap knalpot yang seharian ini menghajarku. Hidungku sedikit lega.

Sesuai janji Rahmat, gadis tadi menjemputku di kamar.

“Sudah waktunya makan malam, Pak. Ditunggu di resto.”

“Iya, sebentar.”

Aku bergegas ke kamar mandi, menyeka wajah sekenanya kemudian mengikuti gadis tanpa nama itu ke restoran. Benar saja, Rahmat dan kawan-kawannya sudah menantiku di meja sudut kanan restoran. Ke empat orang itu berdiri lalu menyalamiku satu per satu.

Rahmat memperkenalkan diriku sebagai komisaris utama di perusahaan IT miliknya. Dia juga menyanjungku karena aku adalah tokoh masa lalu yang suka perkembangan teknologi. Sampai akhirnya ia bercerita bagaimana bertemu denganku di pameran IT beberapa tahun lalu, kemudian merencanakan pendirian perusahaan teknologi ini.

“Suatu saat dunia akan ada dalam genggaman. Internet adalah Tuhan bagi bumi yang baru,” kata Rahmat menutup makan malam yang super kaku ini.

Aku mengenal Ramat sebagai pemuda yang cerdas dan tak mau diam. Ia sangat aktif, mungkin menyesuaikan pikirannya yang nyentrik. Rambut keritingnya menggodaku untuk menjelajahi isi otaknya, hingga akhirnya kusadari bahwa ia adalah distributor produk PC terkenal di dunia, Apple. Melihat peluang ini aku mulai menerima pendekatan darinya, proposal bisnis yang ia tawarkan langsung kuterima tanpa banyak tanya. Kemudian lewat dia aku membeli beberapa lembar saham di Apple.Inc. Emasku berubah menjadi beberapa lembar surat berharga itu yang kini tersimpan rapi dengan dokumen-dokumen penting di dalam kotak penyimpanan Bank BTN.

“Mau masuk atau menunggu panggilan, Pak?”

Gadis berparfum semerbak tadi menegurku. Aku sedang duduk di bawah backdrop bertuliskan “Internet, Peluang Bisnis Menjanjikan Masa Depan” luar ruang seminar.

Kuputuskan untuk masuk. Aku bergabung dengan peserta seminar yang berjumlah sekitar 100 orang itu. Kursiku paling belakang.

Rahmat sedang berpidato sebagai pembuka seminar. Suaranya membahana, berkejar-kejaran dengan sound system. Semangatnya menyala-nyala. Sementara tiga orang rekannya itu terlihat sibuk menulis di buku catatan, entah menulis apa.

Aku mengalihkan padangan ke seluruh ruangan. Mataku berhenti kepada seorang wanita yang duduk di sebelah kanan depanku. Rambutnya pirang, tubuhnya ramping, kulitnya putih bersih, mengenakan rok panjang krem dan baju kemeja lengan panjang juga berwarna krem, ditutupi sal coklat muda, sangat menggodaku.

Ia sedang sibuk menulis entah apa, persis seperti yang dilakukan pemateri di depan. Matanya yang berbinar tampak turun naik dari catatan ke pemateri, pemateri ke catatan, begitu terus. Dari samping, hidungnya begitu bangir, mengundang tanganku untuk memencetnya dengan mesra. Rambutnya yang ikal pirang dibiarkan tergerai di bahu. Tiba-tiba aku grogi, panas dingin sendiri tanpa sebab yang jelas.

Setelah beberapa menit mengatur nafas dan berusaha menenangkan diri, aku memberanikan diri mendekatinya. Kebetulan kursi di sebelah gadis menawan itu masih kosong.

“Halo, boleh duduk di sini?”

“Silakan.”

Dia menjawab tanpa memandangku. Kepalanya tertunduk, tangannya masih mencatat dan mencatat di kertas yang disediakan hotel ini.

Sesaat aku ragu melanjutkan pembicaraan, tapi kembali nekat saat ia menolehku.

“Ada yang aneh sampai melotot gitu melihatku?”

Aku kaget bukan main menyadari bahwa ia tahu apa yang sudah kulakukan lima menit terakhir. Ya, aku seperti melihat emas pertama yang kutemukan di Jangkat. Kagum dan merasa tak percaya dengan apa yang kulihat.

“Maaf. Aku cuma penasaran, kok malam-malam begini gadis secantik kamu berani ke sini sendirian?”

“Aku sudah dewasa, 23 tahun, emang gak boleh datang ke seminar sendirian? Lagian kan aku sudah bayar pendaftaran.”

Lagi-lagi jawaban ketus itu melemahkan keberanianku. Cantik tapi dingin.

“Oke.”

Cuma itu yang bisa kuutarakan. Berikutnya kami hanya diam dengan pikiran masing-masing. Di dalam hati aku bertekad tidak akan melanjutkan pendekatan ini lagi kalau dia masih berlaku dingin. Tetapi… ah, wajah indo keturunan Eropa-nya masih terus mengusik mataku.

“Mungkin kita salah memulainya.”

“Apa?” Kepalanya tertengadah.

Aku menyodorkan tangan kanan, ia tak menyambut salamku. “Mari kita mulai lagi dari awal. Namaku Andi Rahman, 35 tahun, masih single dan duduk di sini dengan niat menggodamu.”

“Hah?!”

Sekarang giliran dia yang tercekat.

“Sumpah, baru kali ini aku ketemu laki-laki yang percaya dirinya setinggi langit.”

“Sudah, salaman saja dulu, nanti selanjutnya kita lihat apa yang terjadi.”

Dengan terpaksa disambutnya salamku. Bola matanya yang biru melekat ke mataku yang hitam. Sekarang dia tertawa geli, entah kenapa.

“Sumpah ya, kamu itu… aneh.”

Katanya sambil tersenyum geli. Hatiku langsung ngilu.

“Yeah, memang banyak yang bilang begitu.”

Sekarang dia menepuk jidat, menutup muka dengan kedua tangannya lalu menggeleng-geleng pelan. Saat inilah namaku dipanggil pembawa acara.

“Mari sambut Pak Andi Rahman, komisaris utama PT IT Sejahtera!”

Semua audience bertepuk tangan. Kulirik, gadis indo di sebelahku langsung terpana.

“Sebentar, ya, nanti kulanjutkan lagi rayuannya. Jangan ke mana-mana,” kataku. Dia mengangguk kaku, mata birunya yang bening mengikutiku hingga ke atas panggung.

Aku mendekati Rahmat sebelum berjalan ke podium. Lalu aku berbisik, “Mat, sudah kubilang aku gak ada persiapan kalau dijadikan pemateri. Kamu ini gimana, sih?”
Rahmat tak menjawab, ia hanya tersenyum lalu menyalamiku. Begitu tangannya lepas dari tanganku, terlihat secarik kertas menempel di telapak kananku.

Aku menggeleng-geleng ke Rahmat, lalu berjalan ke podium. Malam itu aku menjadi pemateri dadakan yang sukses. Peserta seminar memberi applaus saat materiku habis. Beruntung mereka tak tahu soal secarik kertas yang sudah disiapkan Rahmat.

Setelah tepukan tangan reda, aku dipersilakan duduk di kursi barisan pemateri. Tapi aku menolak dengan halus, lalu berjalan ke arah gadis indo yang jelita itu. Dia sudah menunggu dengan rungutan di bibir.

“Pak Andi rupanya. Kok ndak ngomong dari tadi, sih.”

Sekarang gantian aku yang menepuk jidat.

“Kan sudah kubilang dari tadi, namaku Andi Rahman. Kamu itu yah, lain kali kalau orang ngomong didengerin, jangan dicuekin,” kutarik hidungnya dengan pelan. Ia menepis tanganku dengan manja.

Sejak hari itu, aku dan Ratih terus berkomunikasi. Tiada hari tanpa menghubungi pajernya atau menghubungi frekuensi HT-nya. Sesekali menelepon rumahnya. Dan berkali-kali mengunjungi rumahnya di Jakarta.

Empat bulan sudah aku dimabuk asmara sampai-sampai melupakan masalah tambang emas di Bangko. Fokusku hanya pada Ratih, Ratih dan Ratih. Dia adalah segalanya bagiku saat ini.

“Kamu itu, ya, kalau ngontak kayak minum obat.”

Protes Ratih di satu malam.

“Jangan salah, obat kalah buatku. Kamu lupa, aku kan tujuh kali sehari ngubungi kamu.”

“Iya, bikin over dosis!”

“Hahaha…”

Kami tertawa lepas.

Hingga akhirnya di atas tugu Monas, sambil menikmati pemandangan Jakarta yang sedang membangun, aku memutuskan untuk mengakhiri pendekatan ini.

“Maaf, Ndi, kamu terlambat…”

Ratih lalu bercerita tentang Yoga, seorang pengusaha konstruksi di Surabaya yang sudah menjadi kekasihnya dua tahun ini. Dia juga menjelaskan bahwa mengenalku adalah kesalahan terindah yang dilakukannya.

Meski perih di hati, aku berusaha tegar dan tetap berusaha.

“Masih pacar?”

“Apa?”

“Masih pacaran, kan?”

“Eh, iya. Kamu gak marah? Maaf, ya, kalau aku ngasih harapan ke kamu.”

Aku menyentuh tangannya dengan lembut. Dia menurut.

“Kalau dia memang memilihmu, pasti sudah dari dulu dia menuntaskan tugasnya. Dia mestinya sudah melamar kamu dan meminang kamu saat ini.”

Ratih diam, matanya teduh.

“Entahlah, Ndi…”

Aku menggandengnya hingga pintu lift, lalu kami turun bersama empat pasang muda-mudi ke lantai dasar. Lift menjadi sunyi, hanya bisikan-bisikan manja ke empat pasang itu yang terdengar, kecuali kami.

Malam berikutnya aku datang ke rumah Ratih di perumahan Ciputra. Tapi rumah itu terkunci rapat. Pagarnya digembok, mobil sedan Honda yang biasa nangkring di garasi kini tak ada lagi. Kata tetangga, Ratih sudah pulang ke Surabaya, tantenya sang pemilik rumah sedang kerja. Aku sempat gundah gulana dibuatnya.

Kuhubungi pajernya tak ada telepon balasan. Kukontak HT-nya tak ada sahutan. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu tantenya pulang kerja.

Dari tantenya aku dapat alamat dia di Surabaya.

“Dekat Pabrik Kulit Wonocolo. Di situ Bude tinggal. Kata Ratih, sih, dia mau nyari kerja di Surabaya, ndak tahu kenapa tiba-tiba berubah pikiran gitu. Padahal kamaren-kemaren katanya mau kerja di Jakarta.”

Tante Dewi menutup pertemuan kami dengan harapan aku tak putus asa.

“Kalau memang cinta, perjuangkan dia.”

“Yoga?”

“Ah, dia cuma pelarian saja. Kayaknya kamu yang utama, Ndi. Walau baru ketemu kamu, dia lebih sering nyeritain kamu ketimbang Yoga.”

Peluangku semakin besar. Semangatku terbakar.

“Kalau begitu, saya pamit, nte, mau ke Surabaya.”

“Malam-malam begini?”

“Iya.”

“Ya, sudah. Semangat, ya. Aku lebih senang kalau kamu yang sama dia.”

Aku menyalami Tante Dewi yang masih rupawan di usia hampir separuh abad itu, lalu berbalik memacu mobil Suzuki Terano-ku ke Stasiun Gambir.

Setelah menitip mobil di parkiran, aku naik ke kereta tujuan Surabaya. Belasan jam kemudian aku tiba di Kota Pahlawan ini. Menginap di salah satu hotel kawasan Tunjungan Plaza, kususun strategi demi strategi.

Misiku di hari pertama gagal. Rumah berpagar putih itu kosong. Aku memutar kepala ke TP lalu membeli empat setel pakaian. Balik ke kamar, kemudian ke luar lagi untuk menyewa mobil.

Malam sekitar jam tujuh aku sudah ada lagi di depan rumah itu. Kali ini pagarnya terbuka, lampu teras dan ruang tamu menyala terang seterang harapan di hatiku. Kuparkir mobil di luar pagar, berjalan ke teras lalu memencet bel.

Seorang pria bule menyambutku.

“Cari siapa?”

“Ratih ada, Om?”

“Ada. Kamu siapa?”

“Andi, Om. Kawan Ratih di Jakarta.”

“Oh… tunggu, yah.”

Si Bule itu masuk lagi, meninggalkan tanda tanya di pikiranku. Seorang Bule tadi bahasa Indonesia-nya sangat lancar, bahkan logatnya Jawa-nya terdengar kental, siapa dia?

Semenit kemudian Si Kaulah Segalanya itu berdiri di ambang pintu dalam ruang tamu. Dia kaget melihatku.

“Andi! Kamu ngapain ke sini?”

“Nyari kamu, lah. Emang mau ngapain?”

Dia bergegas mendatangiku lalu menyeretku ke luar teras.

“Kamu kalau mau ke sini bilang-bilang dulu, kan aku jadi kaget.”

“Kamu dihubungi gak bisa. Tahu-tahu ngilang dari Jakarta. Aku kan lebih kaget.”

“Andi… Andi… Kan sudah kujelaskan, bahkan aku sudah minta maaf ke kamu.”

“Tenang, tenang. Aku paham. Aku ke sini cuma mau ketemu kamu, lepas rindu, habis itu ke Jakarta. Emang gak boleh?”

“Eh, gimana sih. Terserah kamu lah.”

Akting ketusnya gagal, senyum tipis di bibir imut itu membuktikan bahwa dia bahagia melihatku di sini.

“Ya, sudah, aku balik ke hotel. Besok aku ke sini lagi di jam yang sama.”

“Maksudnya?”

“Ya, itu, maksudnya.”

Aku pamit tanpa menunggu jawaban darinya. Balik ke hotel, tidur, bangun siang, sore siap-siap, lalu ke rumah Ratih di malam hari pada jam yang sama.

Malam ini Ratih tampil sempurna. Ber-blues putih dengan ikat pinggang berpita pink, rambut dikuncir dengan pita juga berwarna pink, Ratih persis anak SMA yang mau perpisahan. Ini membuat kebahagianku sampai di titik puncak.

“Ayo, masuk.”

“Belum saatnya. Aku mau balik ke hotel, besok ke sini lagi.”
Ratih langsung tercengang.

“Andi!”

Panggilannya terhalang kaca mobil. Setengah jam kemudian aku sudah ada lagi di hotel. Istirahat, untuk kemudian tidur dengan mimpi yang indah.

Tantangan besar menyambutku di malam ke tiga. Seorang pria berambut lurus hitam, Ratih dan Bule itu sedang duduk di ruang tamu ketika aku datang. Hanya Bule itu yang menyambutku, sedang Ratih dan si pria asing hanya diam sambil menatapku dalam-dalam.

“Bapak ke dalam dulu.”

Bule itu masuk ke ruang dalam. Tinggal kami bertiga dalam kondisi sangat canggung.

Aku tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Marahkah? Cemburukah? Atau pasrah? Kuabaikan semua rasa yang campur aduk itu.

“Andi Rahman.”

Aku menyodorkan tangan ke pria itu.

“Yoga Suyono.”

Deg! Jantungku berhenti sesaat, begitu juga jantung Ratih. Wajahnya terlihat pucat.

Untuk beberapa menit kami bertiga tak bersuara. Sesekali bersitatap, sesekali menunduk, sesekali menatap langit-langit lalu menunduk lagi.

“Kerja di mana?”

“Konstruksi, Mas. Mas?”

“Udah pensiun dini. Sekarang lagi cari istri.”

Deg! Sekali ini kupastikan jantung Yoga yang berhenti, begitu juga Ratih. Wajah gadis jelita itu kian putih.

“Andi…”

Suara Ratih begitu lirih.

“Kamu pacar Ratih?”

“Eh, iya, Mas.”

“Oh…”

“Kenapa ya, Mas?”

“Gak apa-apa. Saya calon suami Ratih.”

Deg! Deg! Deg!

Semua jantung di dalam ruang ini berdetak cepat. Aku bersiap-siap kalau-kalau emosi pemuda di sebelahku ini meledak lalu melayangkan asbak di meja ke kepalaku. Tapi… tak terjadi apa-apa.

Yoga lagi-lagi membisu. Matanya saja yang melotot, tapi tangannya tak bergerak sedikitpun. Meski begitu, aku tetap waspada.

Kau tahu, mental seseorang yang sudah hampir tewas gara-gara diberodong peluru, lebih besar ketimbang anak muda yang baru belajar usaha seperti sosok di sebelahku ini.

“Ratih, tolong jelaskan!” Matanya yang melotot diarahkan ke Ratih. Ratih langsung gelagapan dibuatnya.

Aku terbakar. Pemuda ini hanya berani dengan perempuan!

“Jangan salahkan Ratih. Kalau butuh penjelasan, biar aku yang jelaskan.”

Aku berdiri cepat, tubuh Yoga bergeser spontan, mungkin dia mengira aku akan menyerangnya. Tapi dia salah. Aku berjalan pelan ke arah Ratih, duduk di sebelah Ratih, lalu menatap tajam ke arah pemuda yang tak punya mental itu. Ratih sama sekali tak bergerak, seperti patung dewi khayangan.

“Aku tanya, kamu jawab. Oke?”

Yoga lagi-lagi diam.

“Dengar gak! Aku tanya, kamu jawab!”

Suaraku mengeras, tapi tak cukup keras untuk mengundang ayah Ratih yang bule itu datang ke sini.

“Sudah berapa tahun pacaran dengan Ratih?”

“Mmm… dua tahun.”

Sekarang matanya tak sesangar tadi. Yah, aku telah mengalahkannya bahkan tanpa bentrok fisik.

“Kau mencintai Ratih.”

Dia mengangguk.

“Kenapa tak kau lamar? Kenapa tak kau jadikan istri? Cinta macam apa itu? Kau pikir Ratih masih anak SMA yang butuh cinta-cintaan semu? Kau pikir cukup dengan cinta saja kau bisa memiliki dia? Kau pikir kau siapa?”

Mentalnya sampai di titik nol. Dia berdiri lalu kabur ke luar ruangan. Mobil sedannya menderu meninggalkan asap dan suara yang menyakitkan telinga.

Aku berdiri, kemudian berjalan ke teras. Di teras rumah model lama ini aku mohon pamit dengan ayah Ratih.

“Saya pulang dulu, Om.”

“Iya. Loh, Yoga mana, Tih?”

“Sudah dari tadi pulang, Om.”

Aku menjawab untuk Ratih, Si Dewi Khayangan yang kini masih terpaku di kursi.

Di dalam kamar hotel, pagerku berdering. Dari Ratih. Dia minta dihubungi di nomor telepon yang tercantum dalam pesan itu. Aku menolak untuk menurut.

Malam ke empat ke rumah itu aku hanya ditemani Om Yanto, bule asal Perancis yang menjadi ayah Ratih. Dari Om Yanto aku tahu bahwa Ratih adalah keturunan Perancis-Jawa. Ibu Ratih adalah guru bahasa Inggris. Saat menjadi guide bagi Om Yanto, cinta keduanya bertumbuh hingga mekar menjadi Ratih yang kini mempesona. Tapi sayang, di usia Ratih ke 5 tahun, ibunya menutup usia karena kanker rahim.

Aku mendengar semua cerita itu sambil melirik-lirik ke dalam. Tak ada siapa-siapa di sana. Sampai akhirnya aku pulang ke hotel, Ratih tak kunjung terlihat.

Esok dan esok malamnya lagi, baru lah Ratih menyambutku. Mula-mula dia hanya bisa menawarkan marah dan diam yang banyak. Tapi malam-malam berikut, dia mulai menyuguhkan kecerian walau belum penuh.

“Kamu apa gak bosan ke rumahku terus? Kamu kan tahu aku sudah punya pacar.”

Ratih akhirnya bicara. Aku mengabaikan bagian “pacar” yang disebutnya.

“Kalau aku bosan dan gak ke sini terus, kamu gak bakalan pintar.”

“Apa hubungannya?”

“Aku kan ke sini mau mengajari kamu sampai pintar.”

“Mengajari apa?”

“Mengajarimu untuk mencintaiku. Kalau sudah pintar mencintaiku, selanjutnya kita bisa nikah. Atau kamu mau nikah dulu baru belajar kemudian? Pilih mana?”

“Ih, apaan sih.”

Aku tertawa ringan, Ratih tersipu-sipu. Malam ini keceriaan itu sudah full. Saatnya mengetes.

Tiga hari aku berdiam diri di kamar hotel. Ke luar paling untuk sekadar makan, belanja pakaian, lalu kembali ke kamar hotel. Pager kumatikan, sengaja menghindari dari Ratih.

Malam ke empat setelah “pertapaan suci” itu, aku baru mengunjungi Ratih lagi. Dia menyambut dengan amarah yang berlipat.

“Kamu ke mana saja? Pager dimatikan, muka gak keliatan, mau kamu apa sih?”

Aku membungkamnya dengan pelukan. Awalnya dia berontak, tapi lama-lama balik memeluk.

“Kamu lulus, sudah pintar,” bisikku di telinganya. Dia membenamkan kepalanya lebih dalam ke dadaku.

Malam itu aku kasih nilai 100 untuk Dewi Khayangan yang baru tamat sekolah cinta ini. Dari pintu ruang dalam, Om Bule mengacungkan jempol, aku tertawa pelan lalu membalas jempolnya di balik punggung Ratih.

Saat itu lah pagerku kembali berdering. Dengan sebelah tangan kurogoh kantong, kulihat pesan dari Romi yang memecah kebahagian.

“Aku sama Saihan di Jakarta. Penting,”tulis Romi.

Kulepas pelukan Ratih, kuseka air matanya, lalu kubisikkan sesuatu yang menenangkannya. “Aku ke Jakarta mempersiapkan segala sesuatu. Minggu depan aku ke sini lagi melamarmu…”

Ratih senyum sambil mengangguk.

Setelah pamit dengan Bapak Ratih dan memeluk gadis elok ini sekali lagi, aku bergegas ke hotel. Di hotel kuhubungi nomor telepon rumahku di Jakarta. Romi menyambut.

“Direktur perusahaan minta ketemu Abang. Sekarang mereka di Jakarta, katanya mau ke rumah ini,” Romi menjawab dengan nada ketakutan.

“Aku berangkat. Pagi suruh ketemu di rumah saja.”

“Oke, Bang.”

Siang di Jakarta, Aku, Romi dan Saihan telah duduk melingkari meja dari posil kayu Sungkai. Sementara tiga utusan perusahaan baru masuk ruang tamu dikawal dua satpamku yang memegang pistol. Mereka duduk di hadapan kami.

Tio, Ismed dan Dwi, masing-masing jabatannya Direktur, Wakil Direktur dan General Manajer di PT Talano Sejati, perusahaan yang bertahun-tahun ini menjadi musuh bebuyutan kami.

“Jadi Pak Andi, bagaimana tawaran kami?”

Pak Tio bertanya setelah mukadimah yang panjang.

“Kalau Bapak datang ke saya dari awal seperti ini, mungkin akan kupertimbangkan. Sekarang, maaf, tak ada yang perlu kita rundingkan.”

Wajah Tio memerah. Ia melirik ke Ismed dan Dwi. Keduanya tak ada reaksi.

“Kami naikkan lagi 100 persen, bagaimana? Kami butuh lokasi pasti dan sertifikat tanah. Masing-masing tanah dikalikan 1.000 persen dari NJOP, ini penawaran akhir dari kami.”

Aku menggeleng keras. “Sudah kubilang, kalian terlambat. Amir sudah kalian hilangkan, aku dan Romi nyaris lewat juga gara-gara anak buah kalian. Apa kalian pikir uang bisa mengembalikan itu semua?”

Ketiga orang itu tertunduk.

“Saya minta maaf, Pak Andi. Orang lapangan kami salah mengartikan instruksi. Tidak ada kekerasan, hanya negosiasi, ternyata mereka melakukan hal di luar pengetahuan kami.”

Tio bicara seolah tanpa dosa. Pemimpin macam ini, yang menimpakan kesalahan kepada anak buah, adalah pemimpin terburuk yang pernah hidup di dunia ini.

Aku berdiri, Romi dan Saihan juga berdiri. “Silakan pergi. Dan jangan pernah ke sini lagi!”

Kuusir ketiga orang bertubuh tambun itu. Ketiganya menatap sebentar, lalu ke luar ruang tamu.

“Kenapa gak diterima aja, Bang. Kan lumayan,” Saihan berbisik setelah beberapa menit orang-orang itu tak terlihat lagi.

Romi menjitak kepala Saihan.

“Ingat Amir, Dek. Nyawanya gak bisa dibeli dengan uang.”

Aku mengangguk. Kami kembali duduk di ruang tamu, mengatur strategi terbaru. Intinya, kami tetap harus menguasai lahan tambang emas itu, kalaupun diserahkan ke perusahaan, harus perusahaan selain PT Talano Sejati.

Perundingan baru kelar di malam hari. Romi bertugas mencari perusahaan tambang di Jakarta sebagai pengganti PT itu sedang Saihan balik ke Bangko mengawasi situasi di lokasi.

Begitu ke dua kepercayaanku itu bergerak, aku kembali fokus ke Ratih.

Dua minggu kemudian kami menikah di Surabaya. Usai pesta, kami langsung terbang ke Paris untuk berbulan madu sekalian belajar bahasa Perancis dengan Ratih dan orang-orang di sana.

Karena betah dan nyaman, akhirnya kami memutuskan membeli apartemen di kawasan elit kota Paris. Di sana lah kami menghabiskan waktu hingga bertahun-tahun kemudian.

Hampir setiap malam kami menghabiskan waktu di atas menara tertinggi di Paris. Bercerita tentang masa lalu dan memimpikan masa depan dengan senyum tak pernah lepas di bibir. Angin dingin terus berusaha masuk ke tubuh kami, lalu pelukan demi pelukan mengusirnya dengan pasti.

***

“Begitulah…”

Aku mengakhiri kisah Ratih dan Andi di atas Jembatan Makalam Kota Jambi, sore menjelang matahari tertidur. Kutatap wajah Novi yang masih dibalut bingung dan rasa tak percaya.

Peralahan kukeluarkan buku merah dalam tasku, kuserahkan ke Novi. Gadis Anime ini menyambutnya dengan pelan pula. “Ini buku yang ditulis Andi?”

“Iya.”

“Yang ditulis Hasan?”

“Kutinggal di rumah. Isinya sedikit.”

“Kamu percaya, Ri?”

Aku mengangguk.

“Bagaimana kalau kamu di bawah pengaruh hipnotis? Trus kamu sekarang lagi dijadikan pion oleh seseorang untuk tujuan tertentu, kayak main catur.”

Mata beningnya menyiratkan kekhawatiran. Aku merapatkan bahu ke bahunya.

“Aku rasa ini memang aku di masa lalu. Entah teori apa yang pas menyebut ini, tapi, ini memang di luar logika.”

Novi tiba-tiba seperti Detektif Conan. Mengurai satu per satu peristiwa yang aku lalui. Mulai dari pemakaman, rumah mewah, kotak penyimpanan di BTN, surat-surat berharga, emas berpuluh batang, 20 kartu ATM…

“ATM! Ya, ayo kita buktikan.”

Kuseret tangan Novi ke luar gerbang Jembatan Makalam. Dia berlari kecil di belakangku. “Mau ke mana?”

“ATM di WTC,” kataku sambil terus berlari menyeret tangannya.

Kami sudah berdiri di depan ATM BCA, lantai 1 mall WTC Batanghari. Kukeluarkan seikat kartu-kartu ATM dari dalam saku celana, lalu kuambil 3 kartu ATM BCA. Salah satu kartu kumasukkan ke mesin, lalu kutekan PIN yang tertera di Samsung Note HP-ku.

Setelah masuk, tanganku bergetar begitu menekan menu CEK SALDO. Berikutnya…. Kami berdua melotot memandangi layar kaca mesin itu.

“Saldo Anda Rp 15.000.000.000.”

Begitu yang tertulis di mesin. Novi yang berada di sebelah kiriku langsung memeluk tangan kiriku. Kutekan tombol CANCEL, kartu itu ke luar. Kumasukkan lagi kartu ke dua lalu ke tiga, nominalnya sama, Rp 15 miliar di setiap kartu! Sekarang aku sedang memegang 3 kartu dengan isi di saldo Rp 45 miliar!

Aku menoleh ke Novi, kekasih cantikku ini masih terpaku di mesin ATM. Kuseret lagi tangannya ke sudut mall dekat Ramayana.

Sekarang empat kartu ATM BNI. Kumasukkan sartu kartu, lagi-lagi isinya sama dengan yang di ATM BCA. Begitu terus hingga kartu ke empat. Sudah 7 kartu. Masih tersisa 13 kartu ATM lagi: 4 Bank BTN, 4 BRI, 3 Mandiri dan 2 Sinar Mas. Jika masing-masing berisi Rp 15 miliar, itu berarti aku sedang memegang uang sebesar Rp 300 miliar dalam bentuk digital.

Supaya memuaskan rasa penasaran, kutarik uang tunai sebesar Rp 20 juta dari ATM BNI. Dari ke tiga kartu kini terkumpul Rp 60 juta. Kumasukkan uang itu cepat-cepat ke dalam tas. Lalu kukumpulkan lagi kartu-kartu itu dalam satu ikatan, kemudian kumasukkan kembali ke dalam kantong celana. Novi yang di sebelahku masih seperti tadi. Kali ini tatapannya kosong sewaktu melihatku.

“Sekarang kamu percaya?”

Novi diam.

“Kamu kan tahu ayahku PNS, ibuku di rumah saja, aku gak kerja, adikku apalagi. Kakek-nenekku sudah tiada, mereka juga gak ninggalin warisan. Dari mana aku bisa punya uang sebanyak ini kalau bukan dari yang aku ceritakan tadi. Kamu akan tambah kaget kalau lihat emas-emas itu.”

Sekarang dia percaya 100 persen.

Bermotor, kami bergegas ke rumah Novi di kawasan Citra Raya Mendalo Darat. Sesampai di rumahnya, Novi yang masih berpakaian sekolah langsung masuk kamar, meninggalkanku di luar rumah berlantai dua tak berpagar itu.

Tak berapa lama ia ke luar lagi dengan pakaian santai lalu memintaku masuk ke ruang tamu. Baru saja duduk, Mama Novi datang membawa secangkir teh manis.

“Oh, ini ya Ari yang baik hati itu. Makasih sudah ngajak Tante sekeluarga ke Perancis. Novi sudah cerita, kami sampai heboh nerima kabar dari Novi. Sekali lagi, makasih ya, Ri…”

Tante Lis yang tak kalah cantik dari anaknya ini mengelus-elus bahu kananku.

“Iya, Nte, sama-sama. Soalnya Novi juga sangat baik sama Ari di sekolah.”

“Baik apa baik…” ledek Tante Lis. Mukaku langsung merah, grogi.

“Ya, udah, ngobrol gih, Tante mau kamar, lagi seru baca novel.”

Wanita seusia ibuku itu melangkah masuk. Tinggal lagi kami di ruang tamu duduk berhadap-hadapan hanya terpisah meja kaca.

“Jadi, gimana rencananya?”

Novi memulai. Aku memperbaiki posisi duduk dengan tubuh lebih menjorok ke meja.

“Pertama-tama, kita harus seperti biasa; sekolah, rumah, sekolah, rumah, jangan ada tindakan yang mencurigakan. Ke dua, kita harus pelajari Paris lewat google, youtube dan medsos-medsos. Kita cari tahu tempat-tempat yang akan kita kunjungi sesuai yang tertulis di buku merah. Selanjutnya kita berangkat ke Paris, menyiapkan alasan untuk memisahkan diri dari orang tua masing-masing. Di sana, nanti aku sewa dua bodyguard untuk menjaga kita.”

“Kenapa bodyguard-nya gak sekarang aja. Kata kamu pas di Jakarta ada yang ngikuti kamu, aku kan jadi takut…” Novi memutus kalimatku.

Aku berpikir sejenak. “Boleh juga. Tapi itu kan malah buat curiga orang, kok anak SMA sampai dikawal-kawal segala.”

Novi diam, lalu mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Kamu yakin kita aman?”

“Selagi kita gak berbuat mencurigakan, aku yakin kita aman.”

“Trus di Paris apa yang kita cari?”

“Cinta.”

“Hah? Serius lah…”

Aku tertawa sebentar. “Iya, cinta, termasuk teka-teki yang ditinggalkan Andi.”

Ia mengangguk lagi.

“Lalu, kenapa aku? Kenapa gak orang tua kamu?”

“Hatiku telah memilih kamu… Selain itu, orang tuaku pasti tak percaya. Kalau diceritakan, malah entah apa rencana yang mereka buat. Orang dewasa agak sulit diprediksi.”

Novi berusaha mencerna.

“Tapi, aku memang gak sabaran lagi berdiri di puncak menara Eiffel sambil memeluk kamu di belakang, seperti di film Titanic…”

Novi tersipu-sipu. “Ari, ah…”

Tapi aku yakin malam nanti ia akan membayangkannya.

Karena sudah dekat malam, aku pulang. Novi mengantar sampai pintu, meninggalkan bekas cubitan manja di lengan kiriku sebelum aku mengegas motor. Tante Lis terlihat melambaikan tangan dari balik jendela lantai dua.

“Sudah tidur?”

WA dari Novi di pukul 10 malam.

“Belum. Mikirin yang tadi. Di menara itu… kita…”

“Berdua memandang Paris yang indah,” sambar Novi. Aku melayang.

“Kamu kenapa belum tidur?” Aku mencoba mendarat ke bumi.

“Mau minta tolong, besok bisa jemput, gak? Soalnya Mama pagi-pagi ke Batam. Katanya mau ambil barang lagi dari sana, stok butik sudah habis.”

“Aku belum daftar Gojek, jadi belum bisa jemput.”

“Pelit. Ya udah kalo gak bisa.”

“Hahahaha…. Iya, sayang, besok jam berapa minta dijemput?”

“Kan enak kalo gini. Jam 6 lewat sudah di sini, ya.”

“Jam 5 dinihari aku meluncur ke sana. Atau mau sekarang? Biar aku tidur di teras sampai pagi.”

Tak dibalasnya. Mungkin sudah tidur dan bermimpi tentang Paris lengkap dengan petualangan yang akan kami lalui.

Sedang aku, masih menatap tas sekolah di atas meja belajar yang di dalamnya ada uang Rp 60 juta. Mau kuapakan uang itu? Beli motor baru, beli HP Iphone X, Macbook, atau ambil di ATM sedikit lagi untuk beli mobil Fortuner baru?

Aku membayangkan bawa mobil sendiri ke sekolah, parkir, terus turun dengan kaca mata hitam menghiasi wajahku yang bercahaya. Cewek-cewek yang melihat akan terpelongo, cowok-cowok cemburu berat dan Novi berlari menyambutku dengan pelukan hangat. Ah, ini tak mungkin terjadi.

Kutepis angan-angan itu. Kubayangkan jika saja itu terjadi, lalu orang-orang perusahaan itu curiga, mereka akan mengejarku hingga ke rumah. Mereka akan menekan orang tuaku untuk mencari tahu soal sertifikat tanah dan lokasi tambang di Jangkat. Kalau belum puas, mereka akan mengejar Novi, malah orang tuanya akan jadi sasaran tambahan. Aku bergidik ngeri membayangkan itu.

Kuambil tas, kuletakkan dekat kepala lalu berencana memasukkan kembali uang itu ke bank esok siang. Ini satu-satunya angan-angan yang masuk akal dan memastikan kami semua aman.(Bersambung)

***

BACA DI WATTPAD

Petualangan Ari siswa SMA yang mengetahui bahwa dia adalah reinkarnasi dari pemburu! Berlatar Jambi, Jakarta, Prancis, kenangan dan halangan serta ancaman pembunuhan mengiringi setiap langkahnya.

Percintaannya dengan gadis yang cantik, Novi, ikut meramaikan perjalanan kisah mereka.

Ditulis oleh Monas Junior, nama pena dari Alpadli Monas. Jurnalis yang berdomisili di Provinsi Jambi – Indonesia.

FB: monas junior, IG : @monasjunior Blog: monasjunior.wordpress.com

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Juni 13, 2018 inci Novel

 

Tinggalkan komentar